Nestapa

Nestapa


Hujan sore ini baru saja turun, deras sekali. Disini aku sendiri, membasuh luka yang tidak mau pergi. Air mataku jatuh, berbaur dengan derasnya hujan. Jeritan tangisku keras, berbaur dengan suara petir yang menyambar. Miris. 

Tak ku sadari bahwa aku sudah pada tahap nelangsa. Tak bisa apa-apa, hanya mampu meratapi yang ada. 

Aku bukan lemah, hanya saja aku sedang ada pada tahap tak kuat menerima semua. Aku tidak butuh istirahat, aku hanya butuh pundak. Aku tidak butuh diajak melihat alam yang indah, aku hanya butuh senyumnya yang selalu merekah.

Berkali-kali ku coba basuh luka ini, hasilnya tetap sama. Ku coba pejamkan mata berkali-kali, berharap rasa sakit ini sirna. Tetapi, nihil hasilnya.

Nestapaku begitu penuh duka, aku benar-benar lemah tak berdaya. Kuatku sedang hilang, kuatku sedang terkubur dalam-dalam. Kali ini lemahku yang tumbuh, akibatnya seluruh sel dalam tubuhku rapuh. 

Yang tersisa dari cerita ini adalah luka. Yang terkenang dari cerita ini adalah kita. Yang tak pernah tumbuh kembali adalah cinta. Yang kau tinggalkan adalah nestapa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tentang Ia, Overthingking Namanya.

Peranku Untukmu

Sebuah Usaha dan Semoga